Beranda | Artikel
Kekuatan Doa dalam Mendidik
17 jam lalu

Kekuatan Doa dalam Mendidik merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary dalam pembahasan Ada Apa dengan Remaja. Kajian ini disampaikan pada Selasa, 13 Jumadil Awal 1447 H / 4 November 2025 M.

Kajian Tentang Kekuatan Doa dalam Mendidik

Manusia hanya diberi kuasa dan mandat untuk berikhtiar (berusaha), tetapi yang menentukan hasilnya tetaplah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman:

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 11).

Ayat ini menegaskan perlunya usaha nyata untuk mencapai perubahan. Tidak boleh berpangku tangan. Berbagai hal yang patut diketahui dalam melaksanakan tugas mulia mendidik, khususnya remaja, telah dijelaskan secara panjang lebar dalam pembahasan sebelumnya.

Doa Sebagai Bagian dari Ikhtiar

Ada satu faktor yang tidak kalah penting dan merupakan bagian dari ikhtiar, yaitu berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Faktor doa ini tidak boleh diremehkan. Bahkan, ikhtiar belum dikatakan sempurna jika belum memanjatkan doa dan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sesungguhnya, pemilik segala karunia adalah Allah, pemberi hidayah hanyalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hanya Allah yang berkuasa dan sanggup membuka serta melembutkan hati manusia, melapangkan dan menerangi jiwa, dan menumbuhkan rasa cinta serta kasih sayang dalam diri manusia.

Allah berfirman:

قُلْ إِنَّ ٱلْفَضْلَ بِيَدِ ٱللَّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَآءُ ۚ

“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Sesungguhnya karunia itu ada di tangan Allah, Dia memberikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.’” (QS. Ali ‘Imran [3]: 73).

Oleh karena itu, memohon karunia-Nya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah suatu keharusan. Itulah esensi doa. Sudah sepatutnya manusia selalu merasa fakir (membutuhkan) di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan tidak berlebihan dalam menyikapi semua usaha yang telah dilakukan. Tanpa izin dan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala, semua usaha tidak akan membuahkan hasil, dan apa yang dicita-citakan tidak akan tercapai. Manusia hanyalah insan yang lemah dan selalu membutuhkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka diperintahkan untuk memohon dan meminta kepada-Nya.

Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ

“Jika kamu meminta, mintalah kepada Allah, dan jika kamu memohon bantuan, mintalah itu kepada Allah.” (HR. Tirmidzi).

Setiap langkah harus diiringi dengan doa, karena doa adalah ibadah. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ

“Doa itu adalah ibadah.” (HR. Abu Dawud dan Tirmizi).

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyeru manusia untuk berdoa kepada-Nya. Dalam surah Ghafir ayat 60, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ٱدْعُونِىٓ أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِى سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Dan Tuhanmu berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku (berdoa kepada-Ku) akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.’” (QS. Ghafir [40]: 60)

Jangan lupakan dan lewatkan berdoa untuk anak-anak, sertakan mereka dalam setiap doa yang dipanjatkan. Mintalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar dimudahkan urusan mendidik anak, yang merupakan perkara berat. Bantuan Allah Subhanahu wa Ta’ala amat diperlukan, terutama untuk meluluhkan dan melunakkan hati seseorang, karena hati berada di antara dua jari dari jari-jari Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan hanya Allah yang mampu mengubahnya.

Oleh karena itu, faktor doa tidak boleh diremehkan. Jika merasa semua ikhtiar sudah dilakukan secara maksimal, semua usaha sudah ditempuh, tetapi hasil belum terwujud, maka patut dicurigai kurang berdoa, kurang meminta, atau kurang sungguh-sungguh dalam berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bersungguh-sungguhlah dan jangan pernah kecewa serta putus asa dalam berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Nabi Zakaria ‘Alaihissalam memberikan contoh dalam berdoa. Ketika memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar diberi keturunan, meskipun usia sudah senja, rambut sudah memutih, dan tulang-tulang sudah melemah, beliau tetap berdoa dan berkata:

وَلَمْ أَكُنۢ بِدُعَآئِكَ رَبِّ شَقِيًّا

“Dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, Ya Rabbku.” (QS. Maryam [19]: 4).

Teruslah memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di samping usaha-usaha yang telah dilakukan. Doa merupakan setengah dari semua ikhtiar. Tidak akan lengkap ikhtiar tanpa doa, dan tidak akan sempurna doa tanpa ikhtiar, karena keduanya harus berjalan beriringan. Ikhtiar menuntut untuk berdoa, dan doa menuntut untuk berikhtiar.

Keseimbangan Antara Ikhtiar dan Doa

Keduanya harus berjalan seiring, antara ikhtiar dan doa. Saat menghadapi tugas berat mendidik anak, mungkin terlintas pertanyaan, “Usaha apa lagi yang belum saya lakukan?” Semua ikhtiar sudah ditempuh, semua usaha sudah dilakukan, ilmu sudah dituntut dan dipraktikkan, tetapi hasil belum sesuai yang diharapkan. Mungkin ikhtiar yang bernama doa belum dilakukan dengan sungguh-sungguh.

Carilah waktu-waktu mustajab untuk berdoa, misalnya di sepertiga akhir malam, setiap selesai shalat fardhu, atau pada momen tertentu seperti saat turun hujan, berbuka puasa, saat safar, atau di tempat-tempat mustajab seperti Multazam, Bukit Shafa dan Marwah saat sa’i, atau saat wukuf di Arafah. Jangan lewatkan berdoa untuk anak-anak agar hati mereka dilembutkan, dan berdoa untuk diri sendiri agar urusan dimudahkan dan diberi keistikamahan (keteguhan) dalam melaksanakan tugas mendidik.

Kisah Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu dan ibunya dapat menjadi pelajaran. Abu Hurairah telah berdakwah habis-habisan mengajak ibunya yang belum memeluk Islam. Semua ikhtiar dilakukan, tetapi ibunya tetap menolak dan bersikeras pada keyakinan lama. Hal ini menunjukkan bahwa hidayah sepenuhnya berada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan di tangan manusia.

Ketika penolakan ibunya semakin keras hingga menyinggung Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kesedihan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu semakin mendalam. Ia pun mendatangi Nabi dan menceritakan apa yang terjadi, kemudian meminta doa kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk ibunya.

Abu Hurairah telah melakukan upaya maksimal, baik melalui dakwah maupun doa sendiri. Namun, ia menyadari mungkin perlu doa orang lain yang lebih mustajab. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendoakan ibu Abu Hurairah. Seketika setelah Abu Hurairah sampai di rumah, ibunya menahannya, dan terdengar suara gemericik air. Setelah itu, ibunya keluar, menyambutnya, dan menyatakan keislamannya dengan mengucap dua kalimat syahadat.

Inilah kekuatan doa yang luar biasa. Hati seseorang tidak akan mampu ditembus oleh retorika atau penjelasan sehebat apa pun jika belum dibuka oleh penciptanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kisah Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu mengajarkan untuk tidak mengabaikan faktor doa. Doa seorang muslim untuk muslim lainnya tanpa sepengetahuan orang yang didoakan termasuk salah satu doa yang mustajab.

Perlu dicatat, Abu Hurairah tidak langsung meminta doa kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di awal usahanya. Ia telah berdakwah jatuh bangun, merasakan kepahitan dan kesedihan karena dakwahnya ditolak, bahkan ibunya menyerang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ia telah berusaha maksimal, baru kemudian menempuh ikhtiar meminta doa kepada orang lain, dalam hal ini Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ini berbeda dengan kebanyakan orang yang belum berikhtiar maksimal tetapi sudah langsung meminta doa. Abu Hurairah mencontohkan keseimbangan antara ikhtiar dan doa.

Doa dan Optimisme

Doa adalah “kekuatan dari langit” yang tidak boleh diremehkan. Terkadang, manusia terlalu berlebihan menganggap ikhtiar yang dilakukan seolah-olah semuanya akan berjalan sesuai keinginan. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ قُلُوبَ بَنِي آدَمَ كُلَّهَا بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ، كَقَلْبٍ وَاحِدٍ، يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَشَاءُ

“Sesungguhnya hati anak cucu Adam seluruhnya berada di antara dua jari dari jari-jari Allah Yang Maha Pengasih, seperti satu hati. Dia membolak-balikkannya menurut kehendak-Nya.” (HR. Muslim)

Waktu terkabulnya doa (momen bertemunya doa dengan Kun Allah Subhanahu wa Ta’ala) tidak dapat diketahui. Hakikat doa adalah menanti Kun (Jadilah!) dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, tetaplah berdoa, sabarlah, dan istiqamahlah. Jangan pernah merasa kecewa dan berkata, “Sudah capek saya berdoa, Allah tidak pernah mengabulkannya.”

Allah Subhanahu wa Ta’ala menguji hamba-Nya melalui doa, untuk melihat apakah ikhtiar sudah maksimal atau belum. Jika seseorang meminta anak yang shalih dan shalihah, tetapi ikhtiarnya belum maksimal, bahkan belum melakukan ikhtiar apa pun, bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengabulkannya dengan Kun? Allah tidak serta-merta mewujudkan keinginan, karena Dia akan menguji dengan ikhtiar yang telah dilakukan.

Sabar adalah kunci. Ujian dalam menghadapi anak memang terkadang membuat orang tua ingin menyerah dan berhenti berikhtiar. Jika menarik diri dari ikhtiar karena merasa putus asa, bagaimana kekuatan doa dapat terwujud? Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

اُدْعُوا اللهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِاْلإِجَابَةِ

“Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan.” (HR. Tirmidzi).

Hal ini memerlukan rasa optimisme, bukan pesimisme dan kekecewaan. Nabi Zakaria ‘Alaihissalam baru dikabulkan doanya saat usia senja. Beliau tetap bersabar dan berkata, “Aku tidak pernah merasa kecewa berdoa kepada-Mu, Ya Rabbku,” bukan menggerutu atau protes. Allah mengingatkan:

…إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ

“Sesungguhnya tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah, kecuali kaum yang kafir.” (QS. Yusuf [12]: 87)

Seorang muslim memiliki pegangan dan sandaran, yaitu Penciptanya, sehingga tidak boleh berputus asa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Doa memperkuat optimisme bahwa Allah akan mengabulkan dan bahwa semua usaha tidak akan sia-sia.

Pada akhirnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengaruniai Nabi Zakaria ‘Alaihissalam seorang anak yang santun dan saleh bernama Yahya. Padahal, beliau berkata:

رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا

“Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah dipenuhi uban.” (QS. Maryam [19]: 4).

Beliau tidak pernah putus asa karena terus berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Tidak boleh mengambil kesimpulan setelah menasihati atau berdoa sekali dua kali bahwa anak sudah tidak ada harapan lagi. Semua tidak berada di tangan manusia, tetapi di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Harus terus membangun rasa optimisme bahwa apa pun yang terjadi tidak akan sia-sia. Jika sudah berikhtiar maksimal dan berdoa, tetapi anak tetap menyimpang atau tidak mendapat hidayah, usaha tersebut tetap tercatat sebagai pahala. Selebihnya, urusan diserahkan kepada Allah, yang akan menilai usaha tersebut diterima atau tidak.

Tidak perlu bersedih dan berputus asa. Lihatlah para nabi. Tidak semua dakwah mereka kepada keluarga berjalan mulus. Nabi Luth ‘Alaihissalam dan sebelumnya Nabi Nuh ‘Alaihissalam, istri dan anak mereka menolak dakwah. Nabi Nuh ‘Alaihissalam tetap mengajak anaknya untuk beriman. Sepanjang hidup, Nabi Nuh ‘Alaihissalam berikhtiar mendakwahi anaknya hingga momen terakhir, bahkan mendoakan anaknya yang akan tenggelam sebelum dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah menerima usaha yang sudah dilakukan oleh Nabi Nuh ‘Alaihis Salam.

Mendidik anak memerlukan kesabaran yang luar biasa, berdakwah siang dan malam selama ratusan tahun. Itu yang Allah nilai dari orang tua, karena urusan hati bukan di tangan manusia, tetapi di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Anak seorang nabi pun tidak otomatis shalih dan masuk surga. Apalagi anak-anak yang orang tuanya bukan nabi, tentu tidak ada jaminan apa pun.

Oleh karena itu, pelajaran pentingnya adalah di samping berikhtiar maksimal, jangan lupakan doa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semoga Allah memudahkan urusan mendidik anak dan memudahkan bagi anak untuk menerima dakwah, nasihat, pelajaran, ilmu, dan hidayah yang disampaikan.

Jika kedua hal ini (ikhtiar mendidik dan doa) tidak dilakukan, lengkaplah penderitaan. Mengabaikan ikhtiar dan tidak pernah berdoa. Walaupun anak tersebut mendapat hidayah melalui tangan orang lain, orang tua tidak akan lepas dari tanggung jawab pada hari kiamat karena tidak pernah melaksanakan tugas dan tanggung jawab mendidik. Jika kedua hal ini diabaikan, pertanggungjawaban tidak akan diterima. Jika anaknya ternyata tidak diberi hidayah, lengkaplah penderitaan di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam bish-shawab.

Download mp3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/55762-kekuatan-doa-dalam-mendidik/